Cerpen_Nurul Rohmawati
Dulu, duniaku terasa gelap. Tak ada cahaya karena sosok yang kupercayai menghilang entah ke mana. Saat itu, aku berusia 17 tahun…
Di Malang yang tenang, angin malam menusuk menembus pakaianku. Aku duduk di teras, menikmati kesunyian, sampai suara ayah membuyarkan lamunanku.
“Namira, ayo masuk. Ayah ingin bicara,” kata ayah.
“Oh, ya, Ayah,” jawabku sambil beranjak masuk.
Di ruang tengah, ibu sudah duduk dengan tubuh lemah. Penyakit paru-parunya semakin parah. Aku duduk di sampingnya, menunggu ayah bicara.
“Sebenarnya, ayah ingin meminta izin. Besok, ayah harus pergi ke luar kota untuk bekerja,” ucap ayah pelan.
Aku terdiam, mencoba mencerna kata-katanya.
“Besok? Ayah tega meninggalkan aku dan ibu yang sedang sakit?!” protesku, suaraku bergetar menahan emosi.
“Nak, ayah harus bekerja untuk biaya berobat ibumu. Tolong mengerti keadaan ini,” kata ayah dengan nada memohon.
Aku ingin membantah, tapi melihat wajah ayah yang tegas, aku hanya bisa menunduk. Malam itu, aku tidur dengan hati yang gelisah.
Ayah Pergi, Ibu Makin Sakit
Keesokan paginya, suara ketukan pintu membangunkanku.
“Namira, bangun, Ayah akan berangkat,” kata ayah.
Aku buru-buru membuka pintu.
“Sepagi ini, Ayah?” tanyaku kaget.
“Iya, Nak. Ayah harus segera pergi,” jawab ibu pelan.
Kami keluar ke depan rumah. Beberapa orang sudah menunggu ayah.
“Jaga ibu baik-baik, ya,” pesan ayah sebelum pergi.
Aku hanya bisa mengangguk, menahan tangis.
Hari demi hari berlalu. Dua minggu, sebulan, lalu tujuh bulan… Ayah tak pernah memberi kabar. Sementara itu, kondisi ibu semakin memburuk.
Suatu hari, saat aku termenung di teras, suara benda jatuh mengagetkanku.
“PRANG!”
Aku langsung berlari ke dalam. Di kamar, ibu tergeletak di lantai, tubuhnya pucat.
“Ibu! Ibu kenapa?!” Aku panik, berusaha membangunkannya.
Ibu membuka mata dengan lemah.
“Namira… kalau Ayah tak kembali, pergilah ke rumah Embok di Kalimantan. Jangan tunggu Ayah… Ibu tahu dari Bu Idah… Ayahmu sudah menikah lagi…” suara ibu melemah.
Aku terdiam, tubuhku membeku.
“Ibu! Jangan bicara seperti itu! Ibu harus kuat!”
Tapi ibu hanya tersenyum lemah.
“Tolong… ibu saya…!!” Aku berteriak, menangis.
Tetangga berdatangan. Pak Iyo memeriksa ibu, lalu berkata dengan suara lirih,
“Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Ibumu sudah tiada, Nak.”
Aku memeluk tubuh ibu yang sudah tak bernyawa.
“Tidak… tidak mungkin…!!”
Hidup Tanpa Ibu, Ayah Menghilang
Sejak ibu meninggal, aku mencoba menghubungi ayah, tapi tak ada jawaban. Aku tak punya siapa-siapa lagi.
Aku teringat pesan ibu. Dengan berat hati, aku memutuskan pergi ke Kalimantan, ke rumah Embok.
Dua hari kemudian, aku berdiri di depan rumah Embok. Hatiku ragu, tapi aku menarik napas dalam-dalam dan mengetuk pintu.
“Assalamualaikum, Embok,” suaraku bergetar.
Pintu terbuka. Melihat wajah Embok, aku tak tahan lagi. Aku langsung memeluknya.
“Nak, ada apa? Kenapa menangis?” Embok bertanya cemas.
“Ibu… Ibu meninggal… Ayah jahat, Embok! Ayah menikah lagi dan meninggalkan kami…!!”
Aku menangis tersedu-sedu di pelukan Embok.
“Ya Allah… Nak, ayahmu memang keterlaluan… Sudah, Nak, tinggal sama Embok, ya. Kita bangun kehidupan baru bersama,” kata Embok sambil mengelus rambutku.
Aku mengangguk, mencoba menerima kenyataan.
Pesan Moral:
Dalam hidup, ada kesedihan dan pengkhianatan. Tapi selalu ada jalan untuk bangkit dan menemukan kebahagiaan baru.