Cerpen_Euis Maesaroh
Ramadhan, tradisi kampung halamanku selalu penuh dengan makna. Hari ke-15 Ramadhan terasa berbeda, seperti sebuah titik penanda bahwa separuh perjalanan telah kami lewati.
Ketupat qunut bukan hanya sekadar hidangan, melainkan sebuah simbol kebersamaan dan rasa syukur atas berkah yang telah diberikan selama separuh Ramadhan.
Hari itu, udara terasa sejuk dan sekitar rumah begitu tenang. Tidak seperti hari-hari biasanya, dapur masih rapi, tanpa aroma masakan yang menggoda. Bintang merasa aneh.
“Bunda, hari ini masak apa?” tanyanya sambil berjalan ke dapur.
“Hari ini Bunda tidak masak apa-apa, Kak, karena biasanya ada kiriman ketupat qunut dari Nenek,” jawab Bunda sambil tersenyum.
“Hore! Hari ini buka dengan ketupat dan opor ayam Nenek!” seru Bintang penuh kegembiraan.
Tradisi ibuku di hari ke-15 Ramadhan selalu sama: mengirimkan sekantong plastik besar berisi ketupat, lauk pauk, dan opor ayam kampung dengan bumbu rempah yang harum. Rasanya khas, penuh cinta dan kasih sayang.
“Kakak, jangan lupa bawa ketupat ke masjid setelah salat tarawih, ya!” kata Bunda, yang telah mempersiapkan bungkusan di dapur.
“Baik, Bunda. Ketupatnya nanti dibawa sama Ayah juga, kan?” tanya Bintang.
“Iya, Ayah sudah janji. Nanti setelah tarawih, Ayah akan membawanya ke masjid untuk dibagikan kepada jamaah,” jawab Bunda dengan senyum hangat.
Ketupat menjadi tradisi yang tak pernah terlewatkan setiap kali Ramadhan tiba. Selain menjadi hidangan buka puasa dan sahur, ketupat juga dibagikan kepada jamaah masjid sebagai simbol kebersamaan dan rasa syukur.
Malam itu, seperti biasa, keluarga Bintang pergi ke masjid untuk melaksanakan salat tarawih. Suasana semakin ramai saat mereka tiba. Orang-orang saling menyapa dengan hangat, berbagi takjil, dan bertukar cerita. Setelah salat tarawih, mereka duduk di pelataran masjid untuk menikmati ketupat bersama-sama.
“Ayo, Bintang, bantu Ayah membagikan ketupat!” ujar Ayah sambil tersenyum.
Bintang mengangguk, mengambil beberapa ketupat yang sudah dibungkus rapat, lalu membagikannya satu per satu kepada jamaah. Ada yang menerimanya dengan senyum lebar, ada pula yang tampak terharu.
Kebahagiaan terasa begitu sederhana. Ketupat bukan sekadar makanan, tetapi juga simbol silaturahmi dan kepedulian di bulan penuh berkah ini.
Ketika malam semakin larut, Bintang duduk di sebelah Ayah. Ia merasa tenang dan bersyukur.
“Ramadhan tahun ini terasa sangat berbeda, Ayah,” katanya pelan.
Ayah memandangnya dengan senyum hangat. “Karena kita semakin dekat dengan-Nya, Nak. Setiap langkah di bulan suci Ramadhan ini adalah keberkahan. Seperti ketupat yang kita bagikan tadi di masjid. Kebersamaan, rasa cinta, dan kasih sayang inilah yang membuat Ramadhan begitu istimewa.”
Bintang mengangguk, merenung. Ia kini paham bahwa ketupat yang dibagikan bukan hanya tentang makanan, tetapi juga tentang berbagi dan merasakan kebersamaan. Ia bersyukur atas kesempatan yang diberikan.
Di malam yang penuh ketenangan itu, Bintang berdoa agar Ramadhan kali ini membawa kedamaian dan keberkahan, yang akan terus ia rasakan di bulan-bulan berikutnya.