Search
Search
Close this search box.
WhatsApp Image 2025-04-27 at 11.39.23
Sebungkus Nasi, Sejuta Senyum

Cerppen_Marinizaine

Cerita ini berawal dari perjalanan pulang menuju rumah.

Sore ini, hiruk pikuk jalanan ibu kota terasa begitu sesak. Terlihat kanan, kiri, depan, dan belakang kendaraan melaju perlahan layaknya segerombolan semut mengerumuni gula.

Motorku terhenti di persimpangan lampu merah.

“Huftt… macet sekali…!”

Hanya kata itu yang pas menggambarkan situasi saat itu.

Bunyi klakson yang bising tak begitu berarti bagi sosok pria tua renta yang kulihat tengah duduk di tepi jalan.

“Ya Allah, kasihan sekali bapak tua itu!”

Perasaan sedih menyeruak seketika.

Tubuhnya kurus, pakaiannya lusuh, rambutnya sedikit ikal, dan gerobak usang yang berisi bekas botol minum serta beberapa kardus begitu jelas menggambarkan betapa beratnya perjuangan hidupnya.

Lampu hijau menyala, pertanda motorku harus melaju, namun pandanganku sekali lagi melihat sosok pria tua itu dari kaca spion.

Kutepikan motor tak jauh dari rumah makan yang menyajikan nasi dan takjil.

“Iya, Neng mau pesan apa?” tanya ibu paruh baya sambil membuka tempat nasi yang mengepul.

“Mmm…!”

Aku sambil melihat-lihat isi etalase makanan.

“Bu, tolong bungkus satu nasi, lauk, dan sayuran!” Aku juga membungkus beberapa takjil untuk pria tua itu.

Sejenak aku duduk sambil menunggu nasi selesai dibungkus. Seketika pikiranku tertuju pada pria tua itu.

“Di mana anaknya? Kenapa orang tua serenta itu harus bekerja mendorong gerobak sepanjang jalan?”

Pertanyaan tanpa jawaban menggelayut di pikiranku.

“Neng, sudah.”

“Oh, iya, Bu. Jadi berapa?” sahutku sambil menyodorkan beberapa lembar uang.

Tak lama, aku memutar balik arah motorku menuju pria tua itu.

“Semoga masih ada di sana…!” harap cemas terbersit dalam pikiranku.

“Assalamualaikum… Pak?” Aku mendekati sambil duduk jongkok tepat di sampingnya yang sedang tertidur.

“Pak…” sapaku yang tak kunjung dijawab.

Ass…! Eh, maaf mengganggu tidurnya,” seketika dia terbangun dan menatapku penasaran.

Aku tersenyum hangat sambil menatap bola matanya yang sayup. Terlihat mata sebelah kiri tertutup katarak. Terenyuh batin melihat kondisinya.

“Iya, Neng. Ada apa?” suaranya pelan, terdengar begitu menyayat hati.

“Maaf, Pak. Ini ada sedikit makanan untuk nanti buka puasa,” ucapku sambil meletakkan dua kantong plastik hitam di hadapannya.

Pria tua itu tersenyum, tak lupa bersyukur atas rezeki yang didapatnya.

“Alhamdulillah, terima kasih, Neng…! Alhamdulillah…!”

Rasa syukur terus diucapkannya. Seketika, tangan yang sedikit gemetar menengadah seraya memanjatkan doa tulus untukku.

Suasana bising di tengah kota pun tak lagi kuhiraukan. Rasa haru dan sedih berkecamuk dalam batin mendengar doa yang terucap dari pria tua renta ini.

Kuseka air mata yang terlanjur menetes.

“Aamiin ya Rabbal ‘Alamin. Iya, Pak, sama-sama. Doa yang sama juga untuk Bapak, ya,” sahutku sambil tersenyum simpul.

“Kalau boleh tahu, Bapak sudah lama kerja seperti ini?” tanyaku perlahan.

Terlihat pria tua itu sejenak terdiam, seolah berusaha keras mengingat.

“Ya sudah tidak apa-apa kalau Bapak tidak ingat,” ucapku, mencairkan suasana karena nampaknya dia kesulitan mengingat.

Melihat kondisinya yang memprihatinkan, ingin rasanya bertanya banyak tentang asal-usulnya, namun urung kutanyakan.

“Entah apa yang terjadi dalam perjalanan hidupnya. Amat berat sekali beban kehidupan yang harus dipikul di pundaknya,” pikirku.

“Pak, semoga Bapak selalu sehat dan panjang umur, aamiin.”

“Aamiin…,” jawab pria tua itu sambil tersenyum, seakan menutupi kesenduannya.

Tak lama, aku bergegas pulang karena waktu sudah hampir menjelang Magrib.

Kulaju motorku perlahan, sesekali menyeka mata yang sedikit berkaca-kaca.

Sebungkus nasi dan gerobak usang menjadi saksi kesenduan pria tua dengan segala cerita hidupnya.

Dari perjalanan sore di bulan Ramadan penuh berkah ini, banyak pelajaran yang bisa menjadi bahan renungan.

Betapa kita harus bersyukur dengan apa yang Allah berikan dan selalu tetap semangat menjalani hidup.

Marinizaine 23 Maret 2025

Nyalanesia bekerja sama dengan ribuan guru dan kepala sekolah di seluruh Indonesia untuk bersama-sama membangun jembatan literasi agar setiap anak punya kesempatan untuk mewujudkan mimpi.

Pendidikan adalah alat untuk melawan kemiskinan dan penindasan. Ia juga jembatan lapang untuk menuju rahmat Tuhan dan kebahagiaan.

Mendidik adalah memimpin,
berkarya adalah bernyawa.

Nyalanesia bekerja sama dengan ribuan guru dan kepala sekolah di seluruh Indonesia untuk bersama-sama membangun jembatan literasi agar setiap anak punya kesempatan untuk mewujudkan mimpi.

Pendidikan adalah alat untuk melawan kemiskinan dan penindasan. Ia juga jembatan lapang untuk menuju rahmat Tuhan dan kebahagiaan.

Mendidik adalah memimpin,
berkarya adalah bernyawa.

Artikel Terkait