Cerpen Karya: Dea Muldtyah – Kelas 9E
Halo! Namaku Dea. Perjalananku meraih prestasi dimulai sejak aku duduk di bangku SMP, tepatnya di SMP Negeri 1 Gunungsari. Dulu, saat masih SD, aku adalah anak yang pemalu dan penakut. Aku belum berani menunjukkan kemampuan yang kupunya. Tapi semua itu berubah saat aku masuk SMP.
Prestasi pertamaku datang dari lomba mendongeng tingkat kabupaten, di mana aku meraih juara 3. Aku tidak menyangka bisa sejauh itu. Tapi yang paling berkesan dan takkan kulupakan adalah lomba terakhirku sebelum lulus sekolah—saat aku meraih juara 1 lomba mendongeng tingkat Kabupaten Serang.
Semua berawal dari sebuah tempat sederhana tapi penuh makna: perpustakaan sekolah. Di situlah aku berlatih setiap hari bersama guru pendampingku, Bu Euis Maesaroh. Sosok beliau tegas, baik, pantang menyerah, dan sangat peduli. Dari beliau, aku belajar untuk percaya diri dan gigih.
Setiap hari, saat istirahat pertama hingga istirahat kedua, aku latihan mendongeng. Aku menghafal naskah sebanyak 3 hingga 5 lembar kertas. Berat rasanya. Ada kalanya aku menangis karena kesulitan menghafal. Bahkan, aku sempat ingin menyerah.
Tapi dalam hati aku terus berkata:
“Aku bisa. Aku pasti bisa.”
Itulah yang selalu menyemangatiku.
Latihan terus berlanjut bahkan saat libur sekolah. Aku sempat menelepon Bu Euis, “Bu, ini kan hari libur. Gimana latihannya?”
Dan jawabannya sederhana tapi membakar semangatku,
“Walaupun hari libur, kita tetap latihan ya, Dea.”
Hari lomba pun tiba. Aku dan Bu Euis berangkat ke Pendopo Kabupaten Serang. Di perjalanan, kami berdoa dan berdzikir, memohon kepada Allah agar bisa menampilkan yang terbaik. Soal juara, kami pasrahkan sepenuhnya kepada-Nya.
Sesampainya di lokasi, aku mendapatkan nomor urut 8. Tapi tiba-tiba, Bu Euis panik.
“Waduh… narasi dongengnya belum Ibu fotokopi!”
“Terus gimana, Bu?” tanyaku panik.
“Dea tunggu di sini, Ibu cari tempat fotokopi dulu ya.”
Aku menunggu dengan gelisah. Sementara giliran tampil semakin dekat, Bu Euis belum juga kembali. Kutelpon, tapi tidak diangkat. Hanya satu pesan yang masuk:
“Tunggu sebentar lagi.”
Menit demi menit berlalu, jantungku berdebar kencang. Namun tepat saat aku akan dipanggil ke panggung, Bu Euis datang membawa salinan naskah. Aku begitu lega dan langsung memeluknya.
Di atas panggung, aku tampil penuh semangat. Aku mendongeng dengan percaya diri. Tapi di tengah cerita, aku mendengar salah satu juri tertawa. Aku terdiam sejenak—bingung, ragu. Dalam hati, aku nyaris ingin menyerah.
Tapi suara kecil dalam hati berkata lagi:
“Lanjutkan. Kamu bisa.”
Aku teruskan dongengku sampai selesai. Setelah turun panggung, aku bertanya pada Bu Euis,
“Bu, tadi juri ketawa. Aku lucu ya?”
“Ibu juga nggak tahu, Dea. Aneh juga sih, mungkin mereka terhibur.”
Aku sempat sedih, takut kalau juri tidak menyukai penampilanku. Narasi yang kubawakan memang berbeda: tentang lagu “Keramat” dari Rhoma Irama, yang kupadukan dengan cerita dongeng. Mungkin itulah yang membuat juri tertawa sambil berkata,
“Asik, dangdut!”
Aku hanya bisa terus berdoa,
“Ya Allah, semoga aku juara satu. Aku ingin membanggakan sekolahku.”
Ketika adzan berkumandang dari mushola, aku dan Bu Euis segera berwudhu dan salat. Kami berdoa sungguh-sungguh.
Tibalah saat pengumuman. Ketegangan menyelimuti seluruh tubuhku. Hatiku berdebar, mataku fokus pada juri.
“Juara pertama diraih oleh… nomor urut 08, atas nama Dea Muldtyah dari SMP Negeri 1 Gunungsari! Beri tepuk tangan!”
“Hah?! YEAAAY! Alhamdulillah!”
Aku dan Bu Euis berteriak bahagia. Kami berpelukan erat. Aku naik ke panggung menerima piala dengan senyum penuh syukur. Dalam hati, aku berkata,
“Terima kasih, ya Allah.”
Setelah turun dari panggung, kulihat tangan Bu Euis bergetar saat ingin membagikan kabar ini ke grup sekolah. Dia tidak banyak bicara, hanya tersenyum bahagia. Mungkin dia terlalu terharu. Aku pun ikut terharu. Hari itu adalah hari terbaikku.
Itulah lomba terakhirku sebelum pulang, sebelum aku pindah ke sekolah baru. Tapi kenangan ini akan selalu tinggal di hatiku.